Sejatinya Islam
Islam memang diturunkan di Arab. Kitab sucinya menggunakan bahasa Arab.
Namun, Islam bukanlah Arab. Tidak semua orang Arab bisa memahami ajaran
Islam. Tak semua orang arab bisa mencapai Islam (Keselamatan), meski petunjuk Allah
menggunakan bahasa Arab. Bahkan lebih ekstrem, tidak semua orang yang
telah bersyahadat dan memeluk Islam bisa selamat, kecuali jika mereka
benar-benar membuktikan persaksiannya. Bahkan orang yang telah berilmu
tentang Islam pun, belum terjamin bisa selamat, meski dengan ilmu yang
ada padanya seolah ada yang menerangi jalannya, karena setan orang
berilmu pasti juga sepandai dirinya.
Orang yang telah bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusanNya, jika tak
benar-benar menyaksikan segala keagungan dan kebesaran Allah dan
agamaNya dengan banyak-banyak menjalankan takwa, sesungguhnya dia
termasuk orang yang merugi dan tak selamat. Dengan kata lain bisa
dikatakan, orang yang tak bertakwa bukan orang Islam. Dalam Al Quran
mereka disebut orang yang menipu dan memperdaya Allah, padahal mereka
tak menipu dan memperdayai, kecuali menipu dan memperdayai diri mereka
sendiri.
Kitab Al Quran adalah petunjuk bagi semua umat yang
telah disempurnakan dan diuji dalam kalangan bangsa Arab yang terpencil
dan nyaris tak mengenal peradaban. Mereka jadi tak beradab disebabkan
beratnya hidup di tengah padang pasir yang gersang. Namun, dengan
kedatangan Islam, mereka jadi mempunyai sandaran yang kokoh dan
menentramkan, yaitu bersandar kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan punya sandaran dan keyakinan yang kokoh dan berkat
pertolonganNya, akhirnya, mereka menjadi bangsa yang besar dan
terpandang. Allah pasti akan mengangkat derajat orang yang bertaqwa dan
berilmu.
Namun, patut diketahui bahwa, saat Islam dimonopoli anak
turun Umayyah, yang tak lain adalah penguasa lama Qurays, Islam sudah
mengalami perbedaan dengan Islam Nabi dan Kulafaurrasidin. Islam yang
diajarkan Nabi dan kulafaurrasidin amat demokratis, sedang sesudahnya
malah dikembalikan pada sistem klan dan kerajaan. Lalu, di masa
berikutnya, saat dipegang Bani Abbasiah, Islam juga mengalami perubahan,
karena pengaruh mistik dan sufistik zoroaster Persia.
Namun
bukan sorotan utama di kajian ini, apakah Keturunan Abbasiah dan Umayyah
menamakan diri kerajaan Islam atau tidak. Yang jelas, mereka adalah
salah satu pemeluk yang menerapkan Islam, meski tidak secara kaffah.
Tetapi diantara mereka ada juga yang menerapkan Islam dengan
sungguh-sungguh seperti Umar bin Abdul Azis, sehingga membawa
kerajaannya mencapai kemakmuran dan kegemilangan. Tapi meski begitu,
patut digarisbawahi juga bahwa, dalam ajaran Islam sendiri tidak ada
yang disebut negara, apalagi kerajaan Islam.
Orang Islam boleh
menjadi warga negara mana saja. Dan Insyallah, jika orang menaati ajaran
Islam dengan sebenar-benarnya, di manapun dia berpijak akan menjadi
pemuka dan orang besar. Di manapun mereka berada, Insyaallah akan
diterima dengan lapang dan terbuka, karena mereka bukan pembuat onar,
rendah hati, bisa menerima perbedaan, dan akan selalu menjadi berkah
bagi siapa saja.
Perlu diketahui bahwa, konsep negara liberal dan
negara sosialis sebenarnya adalah konsep yang telah diajarkan Al Quran.
Bahkan para pendiri bangsa dan negara ini pun, mengambil konsep UUD
1945 dari konsep Al Quran. Itu terbukti, dalam UUD 1945, ada yang
disebut Pembukaan dan itu amatlah penting. Bukankah itu sama dengan
adanya tujuh ayat Pembukaan (Al Fatihah) dalam Al Quran?
Pancasila
sendiri, sebenarnya juga merupakan saripati Al Quran dan ajaran
Rasululloh, meski tidak disebutkan langsung di Al Quran. Akan tetapi,
jika orang tidak mempelajari Al Quran dan teladan Rasul, maka tak akan
pernah tahu kalau Pancasila merupakan saripati agama Islam. Apalagi,
jika dalam pemahaman mereka kemasukan paham radikal yang aqidahnya
bertentangan dengan ajaran Tauhid seperti mengagungkan ulamak atau tokoh
turunan Nabi, juga yang menambah-nambahkan amalan wajib selain rukun
Islam.
Nabi sendiri pun, tak boleh diagungkan secara berlebihan,
apalagi hanya anak turunnya? Bagi yang mewajibkan suatu amalan di
samping Rukun Islam, bahkan sunnah Rasul pun, hukumnya tak wajib.
Apalagi pada kenyataannya, paham-paham yang fanatik terhadap tokoh
tertentu seperti Ali, Hasan-Husen, atau tokoh-tokoh lainnya, juga yang
menambah-nambahkan amalan wajib, mereka lahir bukan semata untuk
menggali dan menegakkan Islam, melainkan lebih ingin menonjolkan
perbedaan, agar kelompoknya dapat banyak pengikut. Padahal, Al Quran
telah jelas mengutuk orang yang memecah belah agama Allah yang satu,
juga pada mereka yang bangga dengan kelompoknya atau dengan sesuatu yang
ada padanya.
Karena itu, sangat penting bagi umat Islam
mengetahui Islam dari sumber aslinya, yaitu Al Quran dan suriteladan
Rasul. Kami sendiri sedang mencoba berijtihad, mengkaji dan menampilkan
terjemahan Al Quran, agar orang tahu isi Al Quran dalam blog, "Al Quran
Untuk Segala Umat". Namun dengan mengkaji dan menampilkan itu, kami
tidak bisa memungkiri pentingnya membaca Ayat-ayat Al Quran dalam bahasa
Arab. Namun perlu ditekankan sekali lagi, penguasaan bahasa Arab tak
menjamin bahwa orang akan paham Al Quran sebagaimana penguasaan bahasa
Indonesia tak menjamin orang mampu memahami sastra Indonesia. Meskipun
dengan pengetahuan itu bisa digunakan untuk menggali dan memahami kitab
itu lebih lanjut.
Al Quran adalah kitab yang bernilai sastra
sangat tinggi. Bahkan umat jaman itu sampai mengira yang dibaca Nabi
adalah kalimat-kalimat magis dan sihir yang tidak bisa dinalar cara
membuatnya. Hal itu disebabkan ayat-ayat Al Quran merupakan model bahasa
Arab yang diberi kekuatan dan keindahan tersendiri oleh Allah. Baik
dari segi isi, tata bahasa, cara pembacaan, pilihan kata, hingga
bunyi-bunyi berimanya, semua telah diberi bobot yang luar biasa.
Namun
yang lebih luar biasa dari itu semua adalah, ayat-ayat itu disampaikan
pertama pada orang yang ummi. Dan orang yang tak bisa baca-tulis itu,
bisa memahami dan menyampaikannya dengan lancar karena bimbingan Allah.
Hal ini menunjukkan Al Quran mudah dipahami oleh siapapun, dari kalangan
apapun, jika Allah Menghendakinya dapat hidayah.
Tapi patut
disadari pula bahwa, hidayah tak akan sampai pada seseorang, jika dalam
hatinya tidak punya iman, juga tak ada usaha untuk mencari dan
menggalinya lebih dulu. Datanglah padaNya dengan merangkak, maka Allah
akan berjalan menghampirimu. Berjalanlah padaNya, maka Allah akan
berlari untukmu.
Nabi Muhammad sendiri meskipun tidak bisa
baca-tulis, tetapi beliau adalah orang yang cerdas dan bukan pemalas.
Beliau sampai tidak belajar baca-tulis disebabkan keadaan. Sejak kecil,
kedua orang tua beliau sudah tiada. Dari semua saudara beliau, yang
bersedia mengasuh hanya keluarga yang miskin. Oleh karena itu, beliau
harus rela membantu pamannya bekerja daripada belajar. Lebih-lebih,
paman beliau yang miskin itu anaknya banyak dan masih kecil-kecil.
Karena itu wajar jika beliau tak pernah sekolah, kecuali belajar dari
kehidupan, alam, dan orang-orang yang ditemui dalam perdagangan.
Tapi
akan jadi sangat bodoh dan tidak berakal kalau ada orang yang tak mau
sekolah dan belajar dengan dalih ingin meniru Nabi. Allah tidak akan
menguji seseorang kecuali atas dasar kemampuannya. Allah juga tidak akan
memberi kemampuan kepada seseorang kecuali atas dasar keadaan dan
sesuatu yang diusahakannya.
Dengan bukti tersebut, menunjukkan
pula bahwa tidak semua yang dari Nabi harus dicontoh dan diteladani,
kecuali yang berupa Al Quran. Kalau ada hadist yang tak ada di Al Quran,
hal itu patut dipikir dan direnungkan. Kecuali, soal cara sholat.
Banyak orang bilang cara sholat adalah cara yang tidak diajarkan Allah
dalam Al Quran. Hal ini sering digunakan sebagai dalih untuk fanatik
pada hadist dan ucapan ulamak. Padahal, cara sholat adalah cara yang
diajarkan Allah secara langsung pada Nabi saat menerima perintah itu
dalam peristiwa Isro' Mi'roj.
Dalam riwayat memang tak
disampaikan bagaimana proses belajar-mengajar itu, tapi cara mengajar
Allah memang beda dengan manusia. Sekali Allah mengajarkan, orang tidak
akan lupa. Hal ini sebagaimana telah terjadi pada Nabi Adam yang
diajarkan nama-nama seluruhnya dan seketika beliau bisa
mengungkapkannya. Yang terjadi pada Nabi Muhammad saat Isro' mi'roj pun
demikian qiyasnya.
Sejatinya Dasar Hukum dan Pengetahuan Islam
Dalam
Al Quran dikemukakan, dasar hukum atau sumber pengetahuan orang Islam
hanya meliputi dua hal, yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Yang dimaksud Al
Kitab adalah segala Firman dan Wahyu Tuhan yang disampaikan ke para
Rasulnya di seluruh dunia. Setelah diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul
terakhir, semua isi dari Al Kitab itu disarikan dan disempurnakan dalam
Al Quran. Namun umat Islam tidak boleh membeda-bedakan satu orang Rasul
dan Rasul lainnya, juga Al Kitab yang dibawanya. Bagi umat Islam,
membaca dan memahami Al Quran adalah wajib. Dengan membaca dan memahami
Al Kitab lainnya, Insyaallah akan lebih memperdalam dan memperjelas isi
dan kandungan Al Quran. Namun dalam membaca dan memahami Al Kitab yang
lain perlu dipegang kuat-kuat segi Tauhidnya, meski saat membaca dan
memahami Al Quran pun, perlu dipijak secara mantap ilmu Tauhid itu.
Sementara
Al Hikmah adalah segala pengetahuan yang benar, baik, dan bijaksana.
Juga tafsir dan pandangan para ahli agama terhadap Al Kitab. Bagi umat
Islam, Al Hikmah yang utama adalah pemahaman dan pengetahuan Nabi
Muhammad, yang bersumber dari Al Quran. Umat Islam menyebutnya Hadist.
Pengertian Hadist adalah segenap ahlak Nabi Muhammad, baik ucapan,
perbuatan, keputusan, maupun perilaku sehari-hari, yang berdasarkan Al
Quran seperti yang dikatakan istri Nabi Muhammad, Aisya RA, "Ahlak Nabi
Muhammad adalah Al Quranul Karim." Semua yang dilakukan Nabi Muhammad
adalah cerminan Al Quran sesuai dengan pemahaman beliau dan sesuai
dengan keadaan dan kondisi jaman beliau. Diharapkan, semua umat Islam
juga bisa meneladani itu, yaitu bisa mencerminkan Al Quran sesuai dengan
pemahaman dan sesuai dengan keadaan dan kondisi jaman. Al Quran itu
sendiri berisi pembeda yang tegas antara yang baik dan yang buruk.
Ketaatan dalam menjalankan yang baik dan ketabahan menjauhi yang buruk
adalah yang menunjukkan kualitas seorang muslim. Karena itu, walaupun
diharapkan orang bisa menerapkan dan mencerminkan Al Quran sesuai
dengan keadaan dan kondisi jaman, bukan berarti orang boleh mencampur
adukkan yang baik dan yang buruk, karena banyak orang yang melakukan
itu. Artinya, jangan sampai jaman membuat seorang muslim terhalang
melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk, karena di jaman
apapun pasti butuh yang namanya tegaknya kebaikan dan dijauhinya
keburukan, agar keadilan bagi seluruh umat manusia bisa dicapai.
Dalam
membaca dan memahami Al Quran akan lebih mantap jika membaca dan
memahami hikmah dari Nabi Muhammad tersebut. Dan akan lebih mantap lagi
jika diikuti membaca hikmah-hikmah yang lain, yaitu tafsir dan pemahaman
para ulamak, ilmuwan, juga orang-orang sekitar dengan senantiasa
berpegang teguh pada Tauhid dan Al Quran sebagai penerang. Jadi,
sesungguhnya antara Ilmu Al Quran dan Al hikmah yang begitu luas bisa
diterapkan secara timbal balik. Al Quran bisa digunakan untuk menerangi
Al hikmah dan kebijaksanaan, Al hikmah dan kebijaksanaan bisa digunakan
untuk mempermantap dan memperkaya bekal dalam membaca dan memahami Al
Quran, sehingga bisa terkuak berbagai rahasia ilmu di dalamnya. Namun
patut diketahui dan dingat bahwa dalam membaca dan memahami ilmu
pengetahuan apapun, hendaknya dijauhi kefanatikan, karena kefanatikan
menimbulkan kemandegan. Hendaknya juga menjauhi kesombongan dan
kebanggaan diri, karena sifat sombong dan bangga diri bisa menghancurkan
diri, dunia, dan sekitarnya. Oleh karena itu, orang yang dalam hatinya
mengandung kesombongan dan kebanggaan diri, tidak akan dibukakan rahasia
ilmu pengetahuan. Lebih-lebih dalam memahami Al Quran sangat dibutuhkan
kelembutan, kerendahan hati, kasih sayang, kesucian niat, serta
ketundukan dan kepasrahan diri pada Allah semata.
Dalam
kajian tentang hukum Islam selama ini, perihal pengetahuan dan sumber
hukum Islam dibagi empat yang meliputi Al Quran, Hadist, Ijma (ijtihaj
ulama), dan Qiyas. Dalam kajian ini, Hadist dan Ijma dimasukkan dalam
satu bagian besar yang disebut Al hikmah. Hal ini sesuai dengan yang
tercantum dalam sumber hukum pokok Islam, yaitu Kalamullah (terutama Al
Quran yang terjaga keasliannya). Pengertian Al hikmah di sini juga
sangat luas yang meliputi segala ilmu dan kebijaksanaan yang baik dan
benar. Dewasa ini ada yang disebut koran. Dalam koran penuh dengan
ajaran ilmu dan kebijaksanaan yang baik dan benar. Selain itu koran juga
merupakan tafsir kehidupan dari begitu banyak orang dan penulis. Karena
itu, koran juga bisa dimasukkan ke dalam bagian dari Al Hikmah. Tapi
sekali lagi perlu ditekankan, dalam membaca sesuatu hendaknya jangan
sampai lupa berpegang teguh pada buhul agama Allah yang kokoh, yaitu
agama tauhid yang bersumber pada Al Quran.
Qiyas
sebenarnya bukan sumber pengetahuan dan hukum Islam. Qiyas merupakan
sebuah cara menimbang suatu ketetapan dengan menggunakan berbagai
pengetahuan. Qiyas sama dengan tamsil dalam prisnsip sastra dan syair.
Orang yang pertama mengenalkan atau mempopulerkan kebiasaan para penyair
ini dalam menentukan suatu ketetapan yang menyangkut orang banyak
adalah Imam Ahmad bin Hambal. Tapi walaupun qiyas bukan sumber
pengetahuan dan hukum Islam, kebiasaan ini patut digunakan dalam
memahami ilmu, terutama bagi orang yang rasa dan akalnya sudah terlatih
dengan baik.
Sejatinya Orang Islam
Seorang muslim adalah manusia merdeka dan mandiri, karena dia adalah khalifah
atau pemimpin bagi dirinya sendiri. Dia melihat, bertindak, dan
berperilaku sesuai dengan tuntunan Allah dalam Al Quran dan senantiasa
memohon tutunan dan petunjuk Allah dalam menyelesaikan tiap masalah dan
problematika hidupnya. Seorang muslim tidak akan menyembah kepada yang
selain Allah. Karena itu, Syeh Siti Jenar menolak disuruh menghadap ke
kerajaan, karena di sana, dia pasti harus berjongkok dan sungkem kepada
Sultan. Padahal, dalam diri tiap manusia ada ruh Tuhan. Manusia satu
sama lain adalah sama, yang membedakannya dengan yang lain di Mata
Allah, hanya kadar ketaqwaannya. Oleh karena itu pula, ketika jaman
Jepang, jutaan muslim menolak ketika diperintah hormat pada matahari
yang berlawanan dengan nilai Tauhid dan ajaran agamanya.
Namun,
seorang muslim bukanlah mahluk anti sosial. Justeru karena dia menyadari
bahwa dalam diri tiap manusia ada ruh Tuhan, maka dia akan senantiasa
menghargai dan menghormati orang lain, tanpa membeda-bedakan, tetapi
juga tak sampai berlebih-lebihan. Lalu, di manapun dia berpijak, dia
akan memilih menebarkan rahmat dan kebaikan, berlaku lemah lembut dan
penuh kasih sayang pada orang lain, taat hukum dan pemimpin baik dan
adil yang disepakati dan dipilih masyarakat, serta senantiasa menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Itu semua adalah tuntunan Allah dalam Al
Quran, agar dia menjadi muslim sejati yang bisa hidup selamat, hingga
diwafatkan dalam keadaan khusnul khotimah. Karena itu, dia harus
taat. Akan tetapi bila ada manusia yang jauh dari prinsip kebaikan dan
keadilan, maka disarankan baginya untuk membenci dengan hati dan
menghindarinya. Bila dia mampu mengemukakan hujjah yang baik dengan cara
yang baik dan tak menimbulkan perselisihan, hendaknya dia memberi
nasehat. Tentu saja, kalau berani mendekati api, seorang muslim harus
mempunyai pertahanan diri, agar dirinya tak celaka. Apabila dia
dikuasakan mampu mengubah dengan tindakan, karena dia seorang bapak
terhadap anaknya atau dia seorang pemimpin atau aparat yang bisa
menegakkan kebaikan dan keadilan, maka hendaknya dia mengubah perilaku
tak baik dan tak adil dengan tangannya.
Inti dari ajaran Islam
adalah menganjurkan dan memberi teladan pada perilaku dan perbuatan baik
serta mencegah dan menjauhi perilaku buruk dan tak adil. Al Quran telah
menjelaskan dan menyampaian itu semua dengan lengkap dan jelas. Akan
tetapi, Al Quran itu sendiri tak pernah dibaca dan dipahami dengan baik.
Kebanyakan orang cenderung memahami Islam bukan dari sumber aslinya,
tetapi dari pengertian ulama yang sudah memotong-motong ayat Al Quran
dengan sedemikian rupa. Sesungguhnya bagus melihat dan memahami tafsir
atau pemahaman muslim yang lain untuk pelengkap dan memperkaya
pandangan, tetapi jangan sampai meninggalkan sumber aslinya, yaitu Al
Quranul Karim yang keasliannya akan senantiasa dijaga Allah SWT.
Dengan
tetap berpegang dan berpedoman pada sumber aslinya, seorang muslim
bakal bisa melihat pendapat orang lain dan para ulamak, hingga pada
tataran kurang dan lebihnya. Dengan begitu, seorang muslim akan sanggup
membedakan, bahkan bisa melengkapi dan memperkaya pemahaman yang sudah
ada. Penulis sendiri tertarik pada pemahaman Islam dua organisasi Islam
besar di negeri ini, yaitu Nadlotul Ulamak dan Muhammadiyah. Menurut
Muhammadiyah pengetahuan Islam cukup dibagi dua pengetahuan besar, yaitu
Iman dan Islam. Kalau menurut Nadlotul Ulamak dibagi tiga Iman, Ihsan,
dan Islam. Tapi kalau menurut saya sendiri perlu dibagi empat, yaitu
Iman, Ihsan, Islam, dan Ihlas. Tapi saya tak bermaksud mendirikan
organisasi atau golongan baru. Seorang muslim bebas mengikuti organisasi
politik mana saja selama organisasi itu tetap berpijak dengan teguh
pada kebaikan dan keadilan. Tapi meskipun mengikuti organisasi atau
kelompok apapun, seorang muslim tidak boleh lupa dengan jamaahnya di
hadapan Allah Subehanallahu wataallah, yaitu jamaah Islam yang terdiri
dari orang-orang yang berpedoman dan melaksanakan perintah Al Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar